Sunday, June 21, 2009

“Gatotkaca” Keling dari Pretoria


BERAKSI – Thabo Rapoo (kiri) saat beraksi memamerkan kemampuannya menari Jawa di KBRI Pretoria.
THABO Rapoo bermimpi jadi Gatotkaca, tokoh super hero dalam pewayangan Jawa. “Saya suka Gatotkaca karena dia bisa terbang,” ujar pria kelahiran Ga-Rankuwa, Pretoria, di  Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI)  Pretoria, Jumat (19/6).
 
Nama Thabo memang sudah tak asing bagi masyarakat Indonesia di Afrika Selatan (Afsel). Pria keling berusia 31 tahun ini kerap didaulat untuk menari tari-tarian adat Indonesia di acara-acara resmi KBRI, seperti “17 Agustusan”, misalnya. 

“Saya juga pernah  tampil di Bali Forum, di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,” ujar Thabo, yang datang ke KBRI mengenakan batik, dengan seorang kawannya, yang juga penari. “Saya jatuh cinta kepada budaya Indonesia.”

Thabo memang memiliki ketertarikan yang sangat dalam terhadap kesenian Indonesia, terutama Jawa. Tak heran, selain menguasai beberapa tarian jawa, dia juga bisa memainkan alat musik gamelan, dan sempat juga belajar menjadi dalang. 

Semua itu  dia pelajari saat mendapat kesempatan mendalami kebudayaan Indonesia tahun lalu, atas bantuan Duta Besar RI untuk Pretoria, Sugeng Rahardjo. “Bapak Dubes yang membantu saya. Beliau memfasilitasi semua yang saya butuhkan di Indonesia,” ujar Thabo yang beristrikan bernama Bafikice Sedibe, juga seorang penari. 

Kini, Thabo mengklaim dirinya sebagai duta budaya Indonesia untuk Afsel. Di Negeri Nelson Mandela ini,  dia coba mempopulerkan tarian-tarian jawa dengan mengajarkan kepada murid-murid di Dance Factory, sanggar tari yang dia kelola di Johannesburg.

Menurut Thabo, antusias masarakat Afrika Selatan terhadap kesenian Indonesia, terutama tari Jawa, atas sangat besar. “Dalam praktiknya, saya kerap mengkombinasikan dengan tarian adat Afsel. Masyarakat kami sangat senang mempelajarinya,” ujar Thabo, yang sempat menyabet gelar The Best Young Artist dari sebuah komunitas seni di Afsel.

Dubes Sugeng Rahardjo sendiri  amat mendukung kesungguhan Thabo mempelajari kebudayaan Indonesia. ‘Thabo bisa menjadi media kami untuk mempopulerkan nama Indonesia di Afsel, lewat budaya,” ujar Sugeng, pria kelarhian Bandung 18 September 1954 itu. “Harapan saya, ke depannya, kami bisa membuat semacam pusat kajian budaya Indonesia di Afsel.”

Tak heran, menurut Sugeng, pihaknya sangat serius membekali Thabo. Januari tahun depan misalnya, KBRI akan  kembali mengirim Thabo ke Indonesia untuk lebih mendalami kesenian Indonesia, terutama Jawa, selama satu tahun. “Kami merasakan betul penetrasi yang dilakukan Thabo lewat budaya. Kini, nama Indonesia semakin dikenal di Afsel,” Sugeng melanjutkan. *